Sebagai lembaga kemanusiaan, Aksi Cepat Tanggap (ACT) dituntut harus
bersikap netral dan independen, tidak berpihak pada golongan tertentu,
lebih mengutamakan pada korban terdampak konflik yang menjadi objek
utama misi kemanusiaan. Di sisi lain ada warga masyarakat Indonesia
(WNI) yang berdomisili di Mesir, misi kemanusiaan ini juga mengemban
tanggungjawab menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi WNI.
Tim ACT
SOS – Egypt tiba di Kairo, Mesir pada Senin (19/8/2013), setelah melalui
rangkaian pemeriksaan ketat di imigrasi Cairo International Airport,
akhirnya Tim bisa masuk ke negeri ini.
Penerapan Undang-Undang
Darurat oleh pemerintah transisi, amat mempengaruhi seluruh rakyat Mesir
yang mencapai 85 juta lebih dan WNI yang berada di sana.
Pasca
bentrok pengunjuk rasa dengan aparat keamanan, sejumlah orang menjadi
korban. Mereka, dan keluarganya selayaknya dibantu terlebih yang
hidupnya kekurangan. Terkait dengan korban jiwa, jika korban itu kepala
keluarga, pasti meninggalkan anak dan istri yang layak mendapat santunan
karena kehilangan sumber pendapatan utama.
Penerapan
Undang-Undang Darurat mengubah suasana Mesir sehari-hari. Rakyat terkena
dampaknya. Pukul 19.00-06.00, masyarakat dilarang melakukan kegiatan di
luar rumah baik menggunakan kendaraan umum, pribadi bahkan berjalan
kaki.
Kondisi tak biasa ini juga terlihat pada segala aktivitas
masyarakat yang tampak seperti terburu-buru khususnya menjelang jam
malam. Kemacetan di berbagai sudut jalan protokol mulai terlihat sejak
pukul 3 sore, masing-masing ingin berebut pulang ke rumahnya. Pengguna
transportasi umum berebut naik. Situasi kian kurang nyaman,
Agustus-September memasuki puncak musim panas di Kairo. Kisaran suhu
siang hari di atas 35 derajat celsius.
Harga kebutuhan pokok
melonjak karena beban biaya transportasi meningkat, jam kerja dikurangi
dan pendapatan masyarakat menurun. Sejumlah perusahaan mengalami
penurunan produksi sebagai dampak pemberlakuan Undang-Undang Darurat.
Daya
beli masyarakat menurun, ancaman kriminalitas mencuat. Pencopetan dan
perampokan mulai marak. Dana zakat di masjid di kawasan Syibbinkum,
provinsi Manufiah, diambil oleh kelompok tak bertanggung jawab. Ini
peristiwa langka.
Sementara itu, WNI yang berjumlah 5.026 (data
Juli 2013) mengalami situasi serupa. Umumnya WNI adalah para pelajar dan
mahasiswa yang sedang belajar di berbagai sekolah dan perguruan tinggi
yang tersebar di provinsi Kairo dan sekitarnya. Sebagian mereka ditopang
beasiswa dari institusi di Indonesia, lembaga beasiswa Kuwait dan Arab
Saudi, sebagian lainnya mendapat subsidi perguruan tinggi tempatnya
belajar seperti Al-Azhar. Namun, tak sedikit dari mereka tidak dapat
pembiayaan sama sekali. Para mahasiswa ini menggantungkan hidupnya dari
sektor informal.
Secara umum WNI cukup terkena imbas kondisi yang
terjadi. Naiknya harga barang tak dibarengi dengan meningkatnya
pendapatan mereka. Oleh ACT, WNI pun mendapatkan prioritas sebagai pihak
yang layak mendapatkan bantuan dari masyarakat di Indonesia tentu
dengan skala prioritas, WNI yang paling rentan merupakan pilihan utama.
Karena
misi ACT murni alasan kemanusiaan, dari mana pun pihak yang menjadi
korban adalah sasaran utama yang harus dibantu. Membantu dengan berbagai
cara dan upaya sehingga dapat menjangkau korban dan memastikan mereka
beroleh manfaat, pastinya tetap mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan
serta menjaga hubungan baik antara pemerintah dan masyarakat Mesir serta
pemerintah dan masyarakat Indonesia.
ACT terus berkomunikasi
dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), melakukan komunikasi
intens, meminta saran dan pendapat dalam perencanaan dan melaporkan
secara berkala aktivitas yang dilakukan di lapangan. Termasuk
bersama-sama menyikapi isu yang berkembang di luar, seperti kaitannya
dengan media dan masyarakat.
Selain itu ACT juga melakukan
komunikasi dengan lembaga pelajar, keluarga-keluarga pelajar,
perkumpulan, jurnalis asal Indonesia dan WNI yang bekerja di sejumlah
kota di Mesir.
Untuk saat ini segala bentuk bantuan asing yang akan masuk ke Mesir harus melalui mekanisme government to government serta
proses birokrasi yang panjang. Bantuan medis dan menghadirkan tenaga
dokter dan obat-obatan harus seizin pemerintah setempat. Pemerintah
Mesir nampaknya menampik bantuan asing dan menyatakan bahwa mereka masih
dalam kondisi sanggup. Semua bantuan, harus dalam bentuk uang dan
melalui kementerian Luar Negeri. Aturan ini menjadi kendala aktivitas
ACT yang terbiasa bekerja cepat dalam menunaikan mandat kemanusiaan.
“Saat
ini, kondisi Mesir memang sangat ketat dalam menerima bantuan asing.
Karena mungkin pemerintah khawatir bahwa bantuan akan diberikan kepada
pihak yang menentangnya. Pemerintah Mesir ingin menunjukkan mereka
sanggup mengatasi sendiri permasalahan yang terjadi,“ ujar Doddy
Cleveland Hidayat, Ketua Tim SOS–Egypt.
Bagaimanapun, rakyat Mesir
masih perlu dukungan warga dunia. “Kami berupaya menunaikan amanah,”
ungkap Doddy. Ia menambahkan, “Dukungan dan doa dari masyarakat
Indonesia masih dibutuhkan demi mendukung misi kemanusiaan. Doakan Tim
ACT dapat menuntaskan amanah dari masyarakat Indonesia dan dunia.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/08/26/38549/lika-liku-tugas-kemanusiaan-dibalik-penerapan-undang-undang-darurat-di-mesir/#ixzz2d3u6vDcC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar