Dr. Fuad Bakrain Ash-Shufi
ungguh keliru orang yang beranggapan bahwa
krisis di Mesir hanyalah sebuah konflik antara partai-partai politik
dalam memperebutkan kekuasaan. Yaitu kekacauan akibat digulingkannya
partai penguasa yang di dalamnya terdapat Partai Keadilan dan Kebebasan
(FJP) dan partai-partai yang berafiliasi gerakan Salafi (di antaranya
Partai An-Nur).
Konflik yang sesungguhnya lebih dari sekadar politis. Sudah bersifat
konflik ideologis. Konflik ini telah menggulingkan dan mengasingkan
presiden yang dipilih secara demokratis. Partai-partai yang tadinya
meraih kekuasaan dengan proses demokrasi, kini menjadi sasaran
intimidasi dan pemberangusan. Negara, yang kemarin berada dalam alam
demokrasi tanpa ada penindasan, kini menjadi arena peperangan antara
pihak-pihak yang tidak berimbang.
Pengusung Islam dan pendukung demokrasi dibantai bukan karena mereka
berbuat kesalahan dalam menjalankan pemerintahan, atau karena ada usaha
ikhwanisasi seperti yang dituduhkan selama ini. Sebab utamanya adalah
karena ada orientasi mayoritas rakyat Mesir yang lebih memilih proyek
kebangkitan Islam. Mayoritas rakyat telah memilih para pengusung Islam
(Ikhwanul Muslimin dan Salafi) untuk berkuasa menggantikan rejim polisi
Mubarak. Mereka tidak memilih kaum liberal dan sekular yang telah lama
gagal dalam memimpin negara-negara Arab dan memperjuangkan rakyatnya.
Rakyat Mesir berhasil memenangkan perubahan ini melalui dua etape;
pemilu presiden dan referendum konstitusi. Perlu ditegaskan, konstitusi
yang disetujui oleh 63% rakyat ini jauh lebih baik dari
konstitusi-konstitusi dunia dalam hal perlindungan HAM bagi rakyat dan
kaum minoritas.
Yang menyedihkan, Front “Penyelamatan” yang menjadi wadah kaum oposan
pemerintahan Presiden Mursi, berhasil menarik sebagian pengusung Islam
untuk bersama-sama menentang pemerintahan sipil-demokratis pertama di
Mesir ini. Padahal tidak ada ideologi dan pemikiran yang mempersatukan
atau mendekatkan mereka. Yang menyatukan mereka hanyalah ambisi untuk
menggagalkan proyek Islam yang terwakili oleh Presiden Mursi dan
pemerintahannya yang sah. Pengusung Islam itu terkesan tidak
mempertimbangkan hal-hal buruk yang akan timbul akibat kudeta.
Di antara kelompok yang mengambil posisi menentang Ikhwan dan proyek
Islamnya adalah Partai An-Nur yang berasal dari gerakan Salafi. Memang
di antara ciri mereka adalah selalu membahas permasalahan akidah; dan
tak jarang terjebak kepada mengkafirkan orang hanya karena kesalahan dan
alasan yang kecil. Banyak sikap mereka yang menentang Ikhwan, mulai
dari oposisi hingga menyetujui kudeta. Sebenarnya tidak ada sebab yang
pantas untuk mengharuskan mereka bergabung dengan para oposan.
Koalisi Ikhwan-Salafi boleh dikatakan berakhir pada demonstrasi 1
Desember 2012. Terjadi silang pendapat dalam menyikapi kebijakan
Presiden Mursi yang memberhentikan seorang tokoh Salafi yaitu Dr. Khalid
‘Alamuddin (ketua Partai An-Nur) dari jabatannya sebagai penasihat
presiden. Pimpinan Partai An-Nur pun bergabung dengan barisan oposisi,
yang pada akhirnya melakukan kudeta dan mengamandemen konstitusi untuk
menghilangkan identitas Islam Mesir. Sampai sekarang pun partai ini
masih sering mengambil tindakan dan kebijakan yang mengecewakan, dan
bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip manhaj salafi yang mereka
yakini.
Lebih dari itu, Partai An-Nur berkeinginan untuk menjadi wakil kubu
Islam jika terjadi koalisi dengan kubu sekular. Kalau sudah demikian,
bisa dipastikan akan banyak lagi prinsip yang dikorbankan demi
menghalangi adanya pihak lain yang berusaha untuk menjadi wakil dari
kubu Islam.
Beberapa waktu yang lalu pun salah seorang tokoh partai ini bahkan
memposisikan dirinya sebagai seorang yang menasihati Ikhwanul Muslimin.
Beliau meminta Ikhwan untuk menghentikan aksi-aksi demonstrasi, dan agar
Ikhwan memeriksa kembali laporan-laporan yang diterimanya berkaitan
dengan masih besarnya dukungan rakyat kepada Ikhwan. Tokoh ini seakan
tidak melihat gelombang massa yang demikian besar, turun ke jalan
bersama Ikhwan dalam demonstrasi-demonstrasi Jumatnya.
Latar belakang persaingan inilah yang telah membuat Salafi demikian
memusuhi Ikhwanul Muslimin, bahkan menjadikan mereka musuh terbesar
melebihi golongan yang lain atau bahkan partai-partai sekular sekalipun.
Permusuhan inilah yang juga melatar-belakangi banyaknya buku yang
ditulis untuk mengkritik Ikhwan selama ini.
Lalu, apakah mereka menyadari bahaya menyetujui kudeta dengan segala kejahatan politik dan kemanusiaanya?
* General Supervisor situs www.wefaqdev.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar