Campur aduk rasanya melihat berita
tentang Mesir. Coup d’etat di Mesir adalah ironi di tengah
dunia yang semakin beradab. Mursi, presiden yang hafal seluruh isi al-Quran itu
adalah presiden Mesir yang terpilih secara sah dan konstitusional setelah
memenangkan pemilu yang demokratis sebagai buah dari revolusi Arab
Spring di Mesir tahun lalu.
Namun rumus fisika sejarah sejak
zaman primitif masih saja berulang, ada kelompok dalam kontentasi pemilu yang
tidak siap menerima kekalahan. Mereka melakukan kerusuhan, anarkisme, bahkan
hingga perkosaan massal. Barbar.
Amerika sendiri yang acap bicara
demokrasi terlihat ambigu dan galau. Ada dua ambugitas Amerika. pertama Amerika
tidak tegas untuk mengatakan bahwa penggulingan presiden sah Mesir Muhammad
Mursi adalah sebuah kudeta militer. Kedua, inkonsistensi AS dengan tetap memberikan
bantuan militer kepada Mesir pasca pelengseran Mursi. Bahkan akan tetap
meneruskan rencananya mengirimkan empat pesawat jet tempur F-16 ke Mesir dalam
beberapa minggu mendatang. Padahal hukum AS melarang pemberian bantuan kepada
pemerintah asing hasil kudeta terhadap pemimpin yang terpilih secara
demokratis. Setiap tahunnya, AS memberikan bantuan sebesar 1,5 milyar dolar
kepada pemerintah Mesir dimana 1,3M dialokasikan untuk militer, terbesar kedua
setelah bantuan kepada Israel. Pasca kudeta ini, AS tetap memberikan bantuan
dengan mencari-cari celah untuk mendefinisikan ulang, “apakah penggulingan
Mursi dapat disebut sebagai kudeta militer?”
Sebuah inkonsistensi dan standard
ganda yang sangat telanjang. Sikap ini sekaligus menggambarkan bagaimana tesis
Samuel Huntington (1927 –2008) The Clash of Civilizations yang
tersohor itu masih relevan sampai sekarang. The Clash of
Civilizations and the Remaking of World Order yang merupakan
perluasan dari artikel Luar Negeri1993 ditulis oleh Samuel Huntington
sebagai hipotesis tatanan dunia baru pasca-Perang Dingin itu setidaknya
menempatkan Peradaban Islam sebagai satu dari tujuh
peradaban dunia selain barat “yang perlu diperhatikan”.
Kudeta Mesir sendiri sebetulnya
hanyalah de javu atas tragedi serupa yang terjadi di Aljazair
dimana kemenangan kelompok Islam Front Islamique du Salut yang
menang mutlak 51% pada 1991 (dan meraih 81% kursi parlemen) akhirnya di kudeta
oleh militer negara itu. Juga de javu serupa atas kemenangan
kelompok Islam HAMAS (harakah al-Muqawwamah al-Islamiyyah) di
Palestina tahun 2006 yang akhirnya justru diboikot oleh dunia barat.
Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah, apakah kelompok Islam dilarang memenangkan pemilu? Bukankah mereka
telah mengikuti prosedur demokrasi secara sah dan konstitusional. Mengapa jika
pemilu dimenangkan kelompok Islam mereka berat menerima kenyataan? Tampaknya
sikap paranoid dari kelompok islamophobia terhadap kemenangan
kelompok islamist democrat telah menjadikan mereka lupa bahwa
pemilu adalah cara yang paling fair untuk berkontestasi dalam Negara modern,
dan kudeta adalah cara masyarakat primitive dimana kekuatan
senjata mengalahkan logika.
Universalisme demokrasi yang
acapkali diserukan barat akhirnya menjelma kedustaan, karena Barat dihinggapi
´ideologi ketakutan’ terhadap peradaban Islam –akibat buku-buku yang mereka
baca merupakan produk dari crusade yang efeknya masih
terasa. Apakah kita juga bisa mengatakan bahwa demokrasi sebetulnya
hanyalah produk partikular barat yang tidak universal? Bukankah ideologi, menurut Rolland Barthes
(Ian Adam: 2007), seorang teoritisi budaya asal prancis, selalu
meniscayakan penganutnya untuk “menaturalkan hal-hal yang pada faktanya
kultural, dan me-universalkan hal-hal yang pada faktanya partikular”
Ah, Kita masih berharap pada Turki,
dimana kemenangan kelompok Islamis Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP)
yang kini dipimpin Erdogan akan menyanggah semua kekhawatiran itu. Turki yang
perlahan menuju menjadi Negara industri di bawah AKP sedang menuju kemajuan.
Angka wisatawan meningkat dari 4 juta menjadi 35juta, tingkat kesejahteraan
naik 300%. Keberhasilan Turki juga kerap diulas di harian Al Ahram,
dan Al Akhbar (Mesir), Aljazirah (Qatar), Al
Sharq Al Awsat (Saudi), Al ‘Arabiyah, dan Al
Khalij. Kelompok AKP sebetulnya mewakili fenomena baru sebagai apa yang
disebut oleh pengamat dengan istilah “islamist democrat”, sebuah kelompok Islam
yang berusaha mengimplementasikan tujuan-tujuannya melalui prosedur-prosedur
demokrasi. Keberhasilan Turki harusnya menjadi contoh bagi As-Sisi bahwa
kemenangan kelompok Islamis tidak perlu ditakuti.
Anda Salah Perhitungan, Jenderal!
Selayak film The Curse of
Golden Flower, rupanya As-Sisi salah berhitung. Apakah ia lupa bahwa
menjadikan para penentang Mursi di Tahrir Square sebagai representasi Rakyat Mesir
adalah sebuah kekeliruan. Mereka hanyalah kelompok minoritas kalah pemilu yang
tidak bisa menerima kekalahan. Tidak merepresentasikan keinginan mayoritas
rakyat Mesir. Justru yang terjadi berikutnya adalah gelombang tsunami pendukung
Mursi. Pemandangan yang terlihat kemudian adalah 30 juta rakyat sebagaimana
dilaporkan BBC tumpah ruah di seluruh Mesir menuntut
dikembalikannya otoritas Mursi sebagai presiden yang sah.
Militer sendiri kemudian dikabarkan
terpecah antara kelompok pendukung kudeta dan penentangnya. Uni Afrika
melalui Ketua Komisinya Nkosazana Dlamini-Zuma segera membekukan
keanggotaan Mesir dari organisasi negara-negara benua hitam itu. Amnesty
international mengecam kebrutalan militer setelah sebelumnya Human
Rights Watch melaporkan kebiadaban penentang Mursi. Disebabkan As-Sisi, Mesir
terancam kehilangan legitimasinya sebagai Negara.
Yang terjadi kemudian adalah
kepanikan As-Sisi. Secara natural jenderal tersebut pasti mengkhawatiri keadaan
dirinya melihat efek gempa yang dibuatnya sendiri. Hanya dalam hitungan
hari As-sisi secara sempurna mewarisi diktatorisme Gamal Abdel Nasser yang
menangkap membunuhi aktivis Ikhwanul Muslimin di era awal.
Dan khawatir reputasinya sebagai
jenderal runtuh, pemandangan berikutnya adalah kegilaan. Bagaimana nurani
kita bisa membenarkan berondongan peluru ditujukan untuk membunuhi
rakyat yang semestinya mereka lindungi pada saat rakyat menunaikan ibadah
shalat subuh hingga menewaskan 53 orang? Padahal sebelumnya mereka
mendiamkan pendemo di Tahrir Square di masa Mursi. As-Sisi tidak ingin harga
dirinya jatuh dan keselamatannya terancam karena kudeta nya di ambang
kegagalan. Akhir tragis dari As-Sisi hanya menunggu waktu, seperti
menonton the Curse of Golden Fower, dimana pihak penentang
kekuasaan yang sah harus mengakui kegagalan kudeta nya sebab lebih banyak
pendukung yang menaruh setia kepada kaisar.
Kini Dunia tahu: Kelompok Islam atau
kelompok sekular kah yang membuat Mesir bersimbah darah. As-Sisi sebaiknya
berfikir ulang dan menyadari dengan siapa dia berhadapan; Ikhwanul Muslimin…
sebuah gerakan Islam terbesar di dunia. Kini ia sedang bergerak dengan dukungan
rakyat…
Kini kita melihat negeri kinanah
Mesir menjadi muram. Hari-hari Ramadhan seperti hari yang gelap dimana awan
hitam berarak di langit. Orang-orang waras dan sadar akan berdoa agar awan
gelap tersebut segera menurunkan hujan lebat. Menyuburi bumi Mesir untuk
kemudian mencipta cerah berpelangi indah.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/07/11/36632/anda-salah-perhitungan-jenderal/#ixzz2YuAixo00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar